Jumat, 31 Januari 2014

AU Filipina Beli 2 Pesawat Angkut PT DI


Angkatan Udara Filipina (PAF) akan mendapatkan dua pesawat angkut ringan baru dari Indonesia untuk meningkatkan misi pengiriman personel dan pasokan ke daerah-daerah terpencil.

Dua pesawat angkut ringan yang dimaksud adalah NC-212i buatan PT DI. Sebelumnya PT DI telah memenangkan tender proyek pengadaan pesawat angkut ringan sayap tetap untuk PAF yang senilai P814 juta atau USD 60,7 juta.

Departemen Pertahanan Filipina telah mengeluarkan pernyataan mengenai proyek ini. Juru bicara PAF, Kolonel Miguel Okol mengatakan bahwa pesawat angkut buatan PT DI itu tidak hanya bisa mendarat di landasan pacu pendek, bahkan bisa di daerah yang tidak memiliki landasan (standar).

Pesawat yang lebih besar seperti Hercules C-130 dan pesawat angkut kelas menengah lainnya akan membutuhkan landasan pacu yang panjang, terang Okol. NC-212i tetap bisa membawa kargo lebih banyak daripada yang bisa dibawa helikopter.

"Pesawat ini dapat dioperasikan di daerah dengan landasan pacu pendek," kata Okol.

Okol mengatakan, NC-212i lebih fleksibel, terutama untuk digunakan dalam operasi tanggap bencana. Merupakan aset udara, yang akan memastikan ketepatan waktu dalam pendistribusian barang bantuan ke daerah yang jauh (terpencil).

Selain mampu dioperasikan di daerah dengan landasan pacu keras, NC-212i juga dilengkapi dengan avionik digital dan sistem autopilot.

Meskipun belum ada batas waktu pengiriman yang ditentukan oleh PAF, rencananya pesawat ini akan segera dikirimkan PT DI ke PAF dalam waktu 548 hari sejak pembukaan letter of kredit, yang menjamin pemerintah Filipina akan memenuhi kewajiban keuangan kepada PT DI. 

Saat ini hanya ada tiga pesawat angkut ringan dalam persediaan PAF, yaitu pesawat Nomad buatan Australia.

Asisten Sekretaris Pertahanan Patrick Velez mengatakan bahwa pasokan NC-212i ke PAF akan menambah stok pesawat angkut ringan menyusul serangkaian kecelakaan pesawat yang dialami PAF.

Proyek pembelian pesawat terbang ini ditujukan untuk meningkatkan upaya keamanan militer dan bantuan kemanusiaan. Rencananya adalah membeli pesawat yang dapat beroperasi dalam lingkungan apapun dan mampu memberikan dukungan untuk pertahanan, perdamaian dan keamanan teritorial, operasi keamanan dalam negeri, tanggap bencana dan pembangunan nasional. Pilihan PAF akhirnya jatuh ke NC-212i buatan PT DI.

Pemerintah Aquino sendiri telah berjanji untuk meningkatkan kemampuan militer angkatan bersenjata Filipina, untuk menjadikannya sebagai salah satu militer terbaik di kawasan. Beberapa pesawat yang akan dibeli PAF, antara lain pesawat tempur -Filipina tidak memiliki pesawat tempur, dan acapkali dijuluki sebagai angkatan udara helikopter-, pesawat patroli jarak jauh, pesawat angkut kelas menengah, pesawat Hercules C-130, helikopter serang dan helikopter tempur.

(Gambar: Airbus Military)

Kamis, 30 Januari 2014

Kemhan Prioritaskan Su-35BM untuk TNI AU

Su-35

Kementerian Pertahanan (Kemhan) berencana mengganti pesawat tempur F-5 Tiger TNI AU yang sudah harus pensiun, dengan pesawat tempur baru yang jauh lebih canggih. Tak tanggung-tanggung, muncul usulan untuk menggantinya dengan pesawat tempur Su-35BM (Flanker-E) dari Rusia.

"Ada beberapa usulan pesawat tempur yang saat ini masih dikaji untuk memilih yang paling tepat. Apakah pesawat tempur dari Rusia, Amerika, Eropa atau dari negara lain," kata Menhan Purnomo Yusgiantoro usai Rapim Kementerian Pertahanan yang dihadiri Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan, di Kantor Kemhan di Jakarta, Selasa, 7 Januari 2014.

Menurut Menhan, ada sekitar 5-6 usulan pengganti pesawat tempur TNI AU yang sudah berusia 30 tahun tersebut. Namun, dirinya meminta agar dilakukan pembobotan dan ditambah spesifikasi teknis, sehingga ditemukan pesawat yang tepat untuk menggantikan F-5 Tiger.

Menhan berharap agar keputusan untuk memilih pesawat tempur pengganti itu segera diputuskan agar pada Rencana Strategis (Renstra) II 2015-2020 dapat dilakukan pembelian sehingga datang tepat pada waktunya.

"Saya berharap pesawat tempur yang canggih tersebut mampu membawa peluru kendali jarak jauh," katanya.

Di tempat yang sama, Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko mengatakan, TNI AU telah membuat kajian untuk pengganti pesawat tempur F-5 Tiger, seperti Sukhoi Su-35, F-15, F-16 dan pesawat tempur buatan Swedia (Saab Gripen).

Pesawat tempur Su-35 adalah pesawat kelas berat generasi 4++. Sebagian teknologinya sudah menggunakan teknologi pesawat generasi ke-5. Soal embel-embel BM pada salah satu varian Su-35, itu hanyalah sebutan dari media-media yang berarti "Big Modernization" karena terdapat upgrade avionik dan modifikasi airframe pada varian ini. Pihak KnAAPO (Sukhoi) sendiri tidak memberikan nama resmi untuk Su-35BM.

Selain pesawat tempur buatan Rusia, Panglima TNI juga tengah mengincar pesawat tempur buatan Amerika Serikat, yakni F-16. "Ada beberapa pilihan, apakah kita ke depannya akan ambil Sukhoi-35 atau apakah F-16 dan generasi terbarunya. Kalau kami punya keinginan Insya Allah pasti bisa," kata Panglima TNI. 

Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko pun mengaku sudah berdiskusi langsung dengan Menhan Purnomo Yusgiantoro. Menurutnya, Menhan pun setuju upaya menambah kekuatan tempur TNI AU. "Tapi ini baru tahap diskusi. Kalau maunya Panglima sih iya (menambah Sukhoi)," kata Panglima TNI. "Kajian itu sedang kami pelajari, tergantung dari kemampuan keuangan negara," katanya.
Sebelum bulan Oktober 2014 TNI AU bakal menerima 8 dari 24 unitpesawat F-16 hibah yang diperbaiki lagi sistem avioniknya.
Kepala Staf TNI AU (KSAU) Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia menambahkan, TNI AU menginginkan satu skuadron (16 unit) dalam pengajuan pengganti pesawat tempur F-5 Tiger.

"Kami ikuti renstra yang ada. Selanjutnya kami masih revisi sesuai arahan Panglima TNI dan Kemhan sesuai kemampuan negara untuk membuat masterlist," katanya.

KSAU mengatakan, setiap Renstra itu ada pergantian pesawat yang tak layak, sehingga dilakukan modernisasi sesuai perkembangan teknologi.

Tahun ini, TNI AU akan menerima belasan pesawat baru dan bekas berbagai jenis, baik itu pesawat tempur jet, pesawat tempur baling-baling, dan pesawat angkut. Dari jajaran pesawat tempur jet adalah F-16 dari Amerika Serikat. Sebelum bulan Oktober 2014 TNI AU bakal menerima 8 dari 24 unit pesawat F-16 hibah yang diperbaiki lagi sistem avioniknya. Sesuai rencana pesawat F-16 akan ditempatkan di Skadron 16, Pekanbaru, Riau. 

Saat ini TNI AU baru memiliki satu skuadron atau 16 unit Pesawat tempur Sukhoi yang terdiri dari Sukhoi SU-27 dan dan SU-30 yang bermarkas Lanud Sultan Hasanuddin di Makassar, Sulawesi Selatan.

TNI AU juga menerima secara bertahap pesawat tempur bermesin jet T-50 Golden Eagle buatan Korea Selatan. Dari satu skuadron atau 16 unit pesawat yang dipesan baru delapan unit yang diterima Indonesia. Pesawat ini lah yang bakal digunakan untuk melatih pilot-pilot tempur TNI AU menggantikan pesawat Hawk 100/200.(sumber;artileri.com)

Myanmar Benar-benar Beli Kapal Selam?

Ilustrasi kapal selam

Selama enam bulan terakhir, muncul beberapa pemberitaan berselang di media yang menyatakan bahwa Myanmar telah membeli kapal selam. Jika benar, hal ini tidak hanya memberikan implikasi bagi Myanmar atau Asia Tenggara, tetapi juga masyarakat internasional.

Namun, kita tahu bahwa pemberitaan-pemberitaan tentang Myanmar semacam ini sudah berulang kali muncul di masa lampau, hanya kabar bohong dan menyesatkan.

Ini bukan pertama kalinya Myanmar dikaitkan dengan pembelian kapal selam. Pada tahun 2003, dikatakan bahwa militer Myanmar telah mengadakan diskusi dengan pemerintah Korea Utara untuk pembelian satu atau dua kapal selam mini. Kapal selam tersebut adalah kapal selam dari kelas Yugo 110 ton dan kelas Sang-O 370 ton. Meskipun kedua kapal selam ini memiliki banyak keterbatasan dalam hal kemampuan, ketertarikan Myanmar pada kapal selam ini adalah mencerminkan keinginan militernya untuk lebih baik dan untuk mencegah invasi (tuduhan invasi mungkin ditujukan untuk Bangladesh).

Menurut mingguan pertahanan Jane's Defence Weekly (JDW), Myanmar akhirnya memilih membeli satu kapal selam dari kelas Sang-O, namun dikabarkan pula pembelian batal. Disebut-sebut ini disebabkan karena harga kapal selam tidak sesuai harapan Myanmar, dan alasan lain adalah militer Myanmar akan kesulitan dalam memelihara kapal selam tersebut agar terus beroperasi.

Pemberitaan-pemberitaan semacam ini tidak pernah dikonfirmasi oleh militer Myanmar, tetapi ada juga beberapa perkembangan lain yang menambah kemungkinan militer Myanmar memang telah membeli kapal selam. Satu contoh, setelah pemberontakan pada tahun 1988, pemerintah militer baru Myanmar meluncurkan rencana ambisius untuk memodernisasi dan meningkatkan kemampuan angkatan bersenjatanya. Termasuk modernisasi persenjataan angkatan laut. Pada tahun 1999, perwira-perwira Angkatan Laut Myanmar mengadakan program pelatihan kapal selam di Pakistan. Dan pada awal 2012 lalu Angkatan Laut Burma mengadakan program pelatihan rahasia (namun akhirnya bocor ke media) di kapal selam kelas Vela milik Angkatan Laut India.

Dari dua pelatihan itu, menunjukkan keinginan besar Angkatan Laut Myanmar untuk mengoperasikan kapal selam. Bahkan media juga sempat mengabarkan Angkatan Laut Myanmar mengakuisisi dua kapal selam kelas Vela dari Rusia. Benar atau tidaknya biarlah menjadi urusan Vietnam selama tidak mengganggu stabilitas keamanan Asia terutama Asia Tenggara.sumber:artileri.com)

(Gambar via: blogs.knoxnews.com)

Rabu, 29 Januari 2014

Sukhoi-30 Sebagai 'Game Changer' di Asia Pasifik

Sukhoi Su-30SM

Jika sebuah negara ingin menjadi kuat dan berpengaruh di dunia, maka harus memiliki militer yang kuat. Harus menyadari dan cepat merespon apa yang negara-negara lain lakukan untuk meningkatkan kemampuan militernya. Bila hanya menjadi penonton, maka tentu akan tertinggal.

Beberapa negara di Asia Pasifik selama ini merasa aman karena militernya kuat. Mereka memiliki alutsista canggih terutama pesawat tempur dan tidak merasakan ancaman berarti dari negara lain yang militernya lebih lemah.

Namun saat ini sudah berbeda, "kenyamanan" sudah terkikis karena hadirnya satu pesawat asal Rusia Sukhoi Su-30 Flanker. Pesawat yang sangat bermanuver, cepat dan memiliki jangkauan jauh ini telah diakuisisi dalam jumlah besar oleh beberapa negara Asia yaitu China, India, Malaysia, Vietnam dan Indonesia.

Ini telah menggeser keseimbangan kekuasaan di teater Asia Pasifik. Ambil contoh, pilot Australia yang saat ini menerbangkan F-18 Hornet dan pembom tempur F-11 Aardvark kini harus menerima tantangan dari Flanker yang unggul di hampir semua aspek.

Pesawat tempur F/A 18A/B/F kalah dari Flanker dalam semua paramater kinerja utama. Australia sendiri sudah membahas situasi ini dengan mengeluarkan perintah untuk membeli 100 pesawat tempur siluman F-35 dari AS. (Baca juga: F-35 Australia mulai dirakit)

Flanker dilengkapi dengan 12 hard point (cantelan) - lebih banyak dari pesawat tempur lain. Fitur ini memungkinkan Flanker untuk membawa lebih banyak rudal dan bom pintar.

Flanker juga membuat rentan kapal induk bertenaga nuklir AS. War-gamed situations akan terjadi apabila kapal induk AS harus berhadapan dengan Sukhoi yang dipersenjatai dengan rudal jelajah anti-kapal. Apalagi bila Sukhoi dilengkapi dengan rudal hipersonik BrahMos.

Rudal-rudalnya memiliki keunggulan tersendiri, manuvernya legendaris, dan jangkauannya yang lebih dari 3.000 kilometer menjadikan Su-30 sebagai aset yang berharga. Su-30 mampu melakukanrepeated probes and U-turns -taktik perang dingin Uni Soviet. Mengejar Flanker menjadi suatu yang berbahaya.

Wajar saja bila dikatakan Su-30 Flanker sebagai game changer di kawasan Pasifik setidaknya untuk saat ini. Hingga F-35 hadir di Asia Pasifik, situasi mungkin belum akan berubah.

(Kredit foto: Canberra5986/Wikimedia)sumber:artileri

Rivalitas AS-China Lebih Berbahaya dari Perang Dingin?

Bendera China dan Amerika

Pengamat hubungan internasional terkemuka, John Mearsheimer, mengatakan bahwa ada kemungkinan lebih besar dari AS dan China berperang di masa depan daripada konflik Soviet dan NATO selama Perang Dingin.

Mearsheimer berkomentar dalam sebuah acara makan siang yang diadakan oleh Center for the National Interest di Washington DC, pada hari Senin. Acara makan siang itu diadakan khusus membahas artikel Mearsheimer baru-baru ini di The National Interest mengenai kebijkan luar negeri AS di Timur tengah. Namun, banyak percakapan selama sesi tanya jawab terfokus pada kebijakan AS di Asia terutama soal kebangkitan China.

Berbeda dengan Timur Tengah, yang dinilai kurang begitu mengancam Amerika Serikat, Mearsheimer mengatakan bahwa AS akan menghadapi tantangan yang luar biasa dari Asia terutama China yang ekonominya terus meningkat. Profesor Universitas Chicago ini mengatakan bahwa dalam skenario seperti itu, AS dan China akan terlibat dalam kompetisi strategis yang intensif, seperti persaingan Soviet-Amerika selama Perang Dingin.

Sementara menekankan bahwa ia masih yakin perang sesungguhnya antara AS dan China masih bisa dihindari, Mearsheimer mengatakan bahwa ia menilai perang dingin antara AS dan China akan kurang stabil ketimbang Perang Dingin AS dan Soviet. Alasannya didasarkan pada geografi dan interaksi dengan senjata nuklir.

Dia mengatakan bahwa pusat gravitasi dari Perang Dingin AS-Soviet adalah di daratan Eropa tengah. Hal ini menciptakan situasi yang cukup stabil, menurut Mearsheimer, siapapun di seluruh Eropa Tengah akan paham bahwa Perang Dingin NATO-Warsawa akan cepat berubah menjadi perang nuklir yang akan menghancurkan semuanya. Hal ini memberikan kesadaran kuat pada kedua belah pihak untuk menghindari konflik nuklir di Eropa Tengah.

Berbeda dengan persaingan strategis AS-China. Mearsheimer mengidentifikasi empat titik potensial di mana ia percaya bahwa Amerika Serikat dan China bisa terlibat perang: Semenanjung Korea, Selat Taiwan dan Laut Cina Timur dan Selatan. Lebih banyak dari titik potensial peperangan antara NATO dan Soviet. Namun menilai situasi saat ini, Mearsheimer menyiratkan bahwa ia percaya seandainya terjadi, perang antara AS dan China tidak akan meningkat ke perang nuklir.

Ia mencontohkan sengketa China-Jepang atas Kepulauan Senkaku/Diaoyu, yang menurutnya dalam lima tahun ke depan ada kemungkinan nyata Jepang dan China akan berperang. Apabila pecah perang antara China dan Jepang di Laut China Timur, Mearsheimer mengatakan bahwa ia percaya AS akan memiliki dua opsi: pertama, bertindak sebagai wasit dan mencoba memisahkan kedua belah pihak dan kembali ke status quo, kedua, turut dalam perang dengan memihak Jepang.

Mearsheimer mengatakan bahwa ia lebih percaya bahwa AS akan memilih pilihan kedua karena apabila memilih pilihan pertama maka akan melemahkan kredibilitasnya di mata sekutu Asia. Jika Amerika berlaku sebagai mediator yang buruk, maka kepercayaan sekutu akan hilang. Karena AS tidak mengizinkan kedua sekutunya yaitu Jepang dan Korea Selatan untuk membangun senjata nuklir, mereka menaruh kepercayaan besar pada Amerika untuk berada di belakang mereka, mereka akan berharap Washington tidak ragu-ragu turut berperang di pihak Jepang seandainya terjadi perang antara Jepang dan China.

Mearsheimer menambahkan bahwa AS saat ini baru berada di tahap awal ancaman China, dan dia menilai ancaman serius China belum akan terwujud setidaknya hingga 10 tahun kedepan.

Di sisi lain, Mearsheimer mengatakan bahwa dia berharap kekuatan perekonomian China akan melemah atau runtuh, karena hal ini akan menghilangkan ancaman keamanan yang berpotensi besar bagi Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya. Mearsheimer mengatakan bahwa ia cukup terperangah dengan beberapa sikap orang Amerika dan sekutu-sekutu Asianya yang ingin melihat ekonomi China terus tumbuh. Dia mengingatkan bahwa puncak kekuatan Uni Soviet saat Perang Dingin terjadi ketika PDB nya jauh lebih kecil daripada Amerika Serikat. Sedangkan China berbeda, raksasa ekonomi dunia ini akan menjadi ancaman serius bagi Amerika Serikat ketimbang apa yang sebelumnya AS hadapi. (ZZ/Dp)sumber:artileri.com